Maka, sejak lama saya memperkirakan, keroncong akan habis pada 10 tahun mendatang kalau tidak ada upaya regenerasi atau revitalisasi. Dan itu berarti kita, bangsa Indonesia, kehilangan sebuah genre musik yang mengalir, tenang, legato, dengan perpaduan harmoni Barat dan Timur itu.
Syukurlah, di Surabaya ini ada SMP Santa Maria. Sekolah Katolik milik suster-suster Ursulin ini ternyata ikut prihatin dengan kondisi keroncong yang sekarat. Boleh sekarat, tapi jangan sampai mati! Sekolah Santa Maria justru mengajarkan keroncong dalam kurikulum sekolah itu. Mereka juga bikin konser, mengundang para buaya keroncong, dan terus mengasah wawasan para pelajar.
Kusdinarto, guru SMP Santa Maria, mengatakan bahwa satu-satunya cara sekolah menyelamatkan musik keroncong adalah memasukkan keroncong ke dalam kurikulum sekolah sejak 2008. Ini agar para siswa terbiasa mendengarkan dan memainkan musik keroncong. Dus, anak muda punya alternatif musik selain industri pop yang terus menggelontor musik pop, dangdut, rock, disco, R&B, dan sebagainya.
“Selama ini musik keroncong hanya dinikmati oleh orang tua,” kata Pak Kus.
Menurut dia, SMP Santa Maria sangat serius mempelajari musik keroncong yang disebut-sebut sebagai salah satu aset budaya bangsa Indonesia. Siswa-siswa dibimbing oleh guru seni musik. “Kami juga mendatangkan ahli-ahli keroncong,” kata Pak Kus.
Persoalannya memang tidak sederhana. Kenapa? Di Surabaya ini ada ratusan, bahkan ribuan, guru musik klasik--apalagi pop dan dangdut yang tidak perlu guru--sementara guru keroncong sangat-sangat sedikit. Padahal, orkes keroncong itu harus ada sedikitnya tujuh macam alat musik seperti flute, biola, cak, cuk, cello, gitar, bas.
Teknik vokal keroncong yang pakai cengkok khas--dan ini lebih mudah dikuasai orang Jawa ketimbang luar Jawa seperti Flores atau Batak--pun tidak mudah diajarkan. Tapi bagaimanapun juga kerja keras Santa Maria ini layak diapresiasi.
sumber: http://hurek.blogspot.com/2009/02/keroncong-di-santa-maria.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar